Profesi Petani Garam Mulai Ditinggalkan
07.27.00

Kecamatan Kubu, dulu sangat terkenal dengan hasil garamnya yang berkualitas. Warnanya yang putih bersih serta proses pengolahannya yang menarik menjadikan daerah ini sangat terkenal pada jamannya. Petak-petak lahan petani membentang indah di sepanjang garis pantai bak sawah yang membentang indah di pedesaan. Sangat disayangkan hal ini sudah sulit untuk detemui, karena profesi ini nyatanya sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakatnya.
Ditinggalkan bukan berarti masyarakatnya tidak mau atau malas untuk menggeluti profesi tersebut, namun lahan pertanian yaitu bibir pantai yang terus digerus ombak hingga bermeter-meter membuat lahan pertanian mereka berkurang bahkan hilang. Hanya sedikit dari mereka yang masih menggeluti profesi tersebut.
Berjarak sekitar 79 kilometer dari pusat kota, Tianyar Timur adalah salah satu desa yang masih melestarikan profesi ini sebagai sebuah tradisi. Bukan hanya tradisi megibung (makan bersama) dan tradisi megenjekan (paduan suara) yang masih kental disini, profesi bertani garam yang sempat membesarkan tempat tersebut selalu mereka jaga dan layak untuk dipertahankan. Arus modernisasi memang sedikit diadaptasi disini untuk memudahkan pekerjaan mereka.
Pekerjaan yang dominan dilakukan pada musim panas tersebut sangat tergantung pada terik matahari yang akan merubah saringan air laut menjadi butiran-butiran garam. Berbeda halnya dengan proses pembuatan garam di beberapa daerah di indonesia, pembuatan garam di Desa Tianyar Timur sangatlah higienis dan sangat memperhatikan kebersihan dan kualitas. Itu mengapa harga jualnya jauh lebih tinggi di pasaran.

Proses pembuatan garam selalu diawali di pagi hari dimana matahari tidak terlalu menyengat. Masyarakat mengetahui dengan baik kalau kualitas garam tidak terlepas dari matahari dan inti sari tanah yang mereka gunakan ketika melakukan proses penyaringan. Air laut disaring dengan menggunakan saringan yang berbentuk kerucut yang disebut Tinjung, dengan lapisan pasir, batu dan tanah merah (tanah nyanyad). Berikut adalah detail proses pembuatan garam tradisional di Desa Tianyar Timur.
1. Proses Nggau (menggemburkan tanah)
Nggau atau proses menggemburkan tanah di lahan pertanian yang bertujuan untuk mengembalikan bentuk tanah menjadi butiran-butiran kecil sehingga bisa diolah sebagai bahan penyaring dalam pembuatan garam tradisional. Pada proses ini, tanah yang dulunya padat digemburkan dengan menggunakan 'Bangkrak' (alat penggembur tanah berbentuk seperti cangkul yang bergerigi atau seperti senjata Ci Patkai dalam serial Sun Go Kong).
2. Proses Ngadukang (mengaduk tanah)
Ngadukang atau proses mengaduk tanah yang sudah digemburkan tadi, agar bisa kering merata sehingga fungsi dan inti sarinya kembali muncul. Proses ini juga menggunakaan Bangkrak untuk mengaduk tanah.
3.Proses Nambunang (mengumpulkan tanah)
Nambunang adalah proses mengumpulkan tanah sebelum nantinya dimasukkan kedalam Tinjung sebagai bahan penyaring. Proses ini menggunakan alat yang disebut dengan 'Tulud' (alat berbentuk cangkul dengan ujung papan persegi panjang).
4. Proses Menekang (menaikkan tanah)
Menekang adalah proses menaikkan tanah yang sudah dikumpulkan tadi ke dalam Tinjung. Proses ini hanya menggunakan sekop untuk mempercepat pekerjaan.
5. Proses Nuruin (mengisi Tinjung dengan air laut)
Nuruin adalah proses mengisi Tinjung dengan air laut. Proses ini menggunakan alat untuk mengambil air laut yang disebut dengan 'Pemoboan' (dua buah penampung air seperti ember besar yang dibuat dari bahan seng atau lontar dan dihubungkan dengan kayu sebagai pemikulnya). Namun sekarang, kebanyakan petani mulai menggunakan mesin pompa modern untuk menyedot air laut.
6. Proses Nuwunang (menurunkan kembali)
Nuwunang adalah proses menurunkan kembali tanah penyaring yang ada di Tinjung, kembali ditaburkan dan diratakan di petak atau lahan pertanian. Proses ini tidak membutuhkan alat karena bisa dilakukan dengan tangan kosong. Namun proses perataan tanah agar kembali ke bentuk datar dan padat tetap menggunakan Tulud yang dialiri air laut agar tanah mudah dibentuk.
7. Proses Nyemuh (menjemur saringan air)
Nyemuh adalah proses penjemuran saringan air laut yang disebut 'Yeh Nyah' yang kemudian dijemur di terpal berbahan pelastik sebagai alas.
8. Proses Ngerik (memanen garam)
Ngerik adalah proses pemanenan garam yang sudah mengkristal setelah dijemur selama 5 sampai 7 hari, tergantung cuaca dan terik matahari. Proses ini menggunakan alat yang disebut 'Pengerikan' (alat pengumpul yang berbentuk seperti cawan yang melengkung, biasanya dibuat dari jerigen bekas yang dipotong) yang kemudian ditampung didalam wadah yang disebut 'Terompong' (Keranjang dari rautan bambu) untuk kemudian dikeringkan.
Demikian sekilas tentang proses pembuatan garam secara tradisional. Semua itu akan tidak berarti dan hanya jadi cerita jika kita tidak menjaga warisan budaya yang diturunkan nenek moyang kita.
Ditinggalkan bukan berarti masyarakatnya tidak mau atau malas untuk menggeluti profesi tersebut, namun lahan pertanian yaitu bibir pantai yang terus digerus ombak hingga bermeter-meter membuat lahan pertanian mereka berkurang bahkan hilang. Hanya sedikit dari mereka yang masih menggeluti profesi tersebut.
Berjarak sekitar 79 kilometer dari pusat kota, Tianyar Timur adalah salah satu desa yang masih melestarikan profesi ini sebagai sebuah tradisi. Bukan hanya tradisi megibung (makan bersama) dan tradisi megenjekan (paduan suara) yang masih kental disini, profesi bertani garam yang sempat membesarkan tempat tersebut selalu mereka jaga dan layak untuk dipertahankan. Arus modernisasi memang sedikit diadaptasi disini untuk memudahkan pekerjaan mereka.
Pekerjaan yang dominan dilakukan pada musim panas tersebut sangat tergantung pada terik matahari yang akan merubah saringan air laut menjadi butiran-butiran garam. Berbeda halnya dengan proses pembuatan garam di beberapa daerah di indonesia, pembuatan garam di Desa Tianyar Timur sangatlah higienis dan sangat memperhatikan kebersihan dan kualitas. Itu mengapa harga jualnya jauh lebih tinggi di pasaran.

Proses Pembuatan Garam Secara Tradisional
1. Proses Nggau (menggemburkan tanah)
Nggau atau proses menggemburkan tanah di lahan pertanian yang bertujuan untuk mengembalikan bentuk tanah menjadi butiran-butiran kecil sehingga bisa diolah sebagai bahan penyaring dalam pembuatan garam tradisional. Pada proses ini, tanah yang dulunya padat digemburkan dengan menggunakan 'Bangkrak' (alat penggembur tanah berbentuk seperti cangkul yang bergerigi atau seperti senjata Ci Patkai dalam serial Sun Go Kong).
2. Proses Ngadukang (mengaduk tanah)
Ngadukang atau proses mengaduk tanah yang sudah digemburkan tadi, agar bisa kering merata sehingga fungsi dan inti sarinya kembali muncul. Proses ini juga menggunakaan Bangkrak untuk mengaduk tanah.
3.Proses Nambunang (mengumpulkan tanah)
Nambunang adalah proses mengumpulkan tanah sebelum nantinya dimasukkan kedalam Tinjung sebagai bahan penyaring. Proses ini menggunakan alat yang disebut dengan 'Tulud' (alat berbentuk cangkul dengan ujung papan persegi panjang).
4. Proses Menekang (menaikkan tanah)
Menekang adalah proses menaikkan tanah yang sudah dikumpulkan tadi ke dalam Tinjung. Proses ini hanya menggunakan sekop untuk mempercepat pekerjaan.
5. Proses Nuruin (mengisi Tinjung dengan air laut)
Nuruin adalah proses mengisi Tinjung dengan air laut. Proses ini menggunakan alat untuk mengambil air laut yang disebut dengan 'Pemoboan' (dua buah penampung air seperti ember besar yang dibuat dari bahan seng atau lontar dan dihubungkan dengan kayu sebagai pemikulnya). Namun sekarang, kebanyakan petani mulai menggunakan mesin pompa modern untuk menyedot air laut.
6. Proses Nuwunang (menurunkan kembali)
Nuwunang adalah proses menurunkan kembali tanah penyaring yang ada di Tinjung, kembali ditaburkan dan diratakan di petak atau lahan pertanian. Proses ini tidak membutuhkan alat karena bisa dilakukan dengan tangan kosong. Namun proses perataan tanah agar kembali ke bentuk datar dan padat tetap menggunakan Tulud yang dialiri air laut agar tanah mudah dibentuk.
7. Proses Nyemuh (menjemur saringan air)
Nyemuh adalah proses penjemuran saringan air laut yang disebut 'Yeh Nyah' yang kemudian dijemur di terpal berbahan pelastik sebagai alas.
8. Proses Ngerik (memanen garam)
Ngerik adalah proses pemanenan garam yang sudah mengkristal setelah dijemur selama 5 sampai 7 hari, tergantung cuaca dan terik matahari. Proses ini menggunakan alat yang disebut 'Pengerikan' (alat pengumpul yang berbentuk seperti cawan yang melengkung, biasanya dibuat dari jerigen bekas yang dipotong) yang kemudian ditampung didalam wadah yang disebut 'Terompong' (Keranjang dari rautan bambu) untuk kemudian dikeringkan.
Demikian sekilas tentang proses pembuatan garam secara tradisional. Semua itu akan tidak berarti dan hanya jadi cerita jika kita tidak menjaga warisan budaya yang diturunkan nenek moyang kita.